17 Oktober 2008

Alun-alun Majalaya tempo doeloe

Ciri khas tatanan suatu kota di tatar Sunda adalah adanya alun-alun, sekaligus merupakan titik sentral atau pusat kota. Di sebelah barat, biasanya ada Masjid Agung. Di sebelah timur adalah pusat pemerintahan, entah kantor desa, camat, bupati, dsb. Di sebelah utara adalah pusat pertokoan atau pasar, dan di sebelah selatan, biasanya rumah tahanan. Itu dulu! Sekarang tatanan tersebut sudah berubah seiring dengan berkembangnya jaman dan teknologi, atau jumlah penduduk yang semakin membengkak?!

Alun-alun Majalaya... sampai saat ini selalu dipakai untuk shalat ied setiap hari raya lebaran. Di bawah ini adalah suasana shalat ied di alun-alun Majalaya sekitar awal tahun 60-an.

Keterangan:
Foto 1:
Potret para tokoh Majalaya saat itu.
Dari kiri ke kanan: Ajengan Sobandi - H. Moch. Bahtiar Sopandi Idjradinata - Camat Majalaya (Feni Ilyas?) - H. Abdul Gofur - H. Sodikin - H. Abdul Syukur
Foto 2:
H. Ondjo Argadinata sedang bersalaman
Foto 3 dan 4:
Suasana shalat ied di alun-alun Majalaya

12 Oktober 2008

Tali kekeluargaan yang kuat mulai memudar (Artikel 2)

Masa kecil adalah masa bahagia. Ucapan ini sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Bagi kami, kalimat itu banyak benarnya. Dahulu... ketika kami masih anak-anak, adalah hal yang menyenangkan apabila diajak berkunjung ke rumah uwa, ke rumah emang/bibi, atau ke rumah saudara lainnya, karena pulangnya, saku celana atau saku baju kami akan bertambah tebalnya. Makin banyak yang dikunjungi, akan semakin tebal isi saku kami dengan uang jajan yang kami terima dari uwa, emang/bibi, atau kapi aki. Bagi kami waktu itu, semakin banyak uang jajan semakin menyenangkan. Kami bisa membeli es serut, es lilin, rujak bebek, rujak hiris, rangginang oyék (RO), otok owo, arumanis, céndol, goyobod, cingcau, atau yang cepat mengenyangkan; kueh robur, kueh balok, bodeng, rancis dan bandros. Itulah beberapa jenis penganan yang dapat kami beli saat itu.

Bila lebaran tiba, kebahagiaan kami bertambah. Selain semakin banyak saudara yang berkunjung atau kami kunjungi, uang jajan semakin tebal saja, biasanya kami terima uang baru yang masih jegjreg. Di samping itu, makanan melimpah. Setiap lebaran, Ibu kami akan menyediakan leupeut, goreng ayam, rendang, tumis kumeli, sambel goreng, ulen, kari ayam, rangginang, sarikaya (khas Ibu kami), dan lainnya dalam jumlah yang banyak. Makanan sebanyak itu disediakan untuk menjamu tamu - kebanyakan saudara - yang berkunjung ke rumah kami. Beberapa teko besar air minum, disiapkan, lusinan gelas digelar di atas meja. Seluruh kursi di tengah rumah digeser merapat ke dinding. Meja makan dilebarkan tempat menyimpan berbagai makanan untuk nyuguhan tamu. Meja makan kami dahulu bisa dilipat agar lebih ringkas, dan akan dibuka atau dilebarkan pada saat diperlukan. Panjangnya akan bertambah sekitar 60 cm. Di tengah rumah yang kosong digelar beberapa helai samak lipet atau permadani untuk tempat duduk para tamu agar dapat menampung jumlah yang lebih banyak.
Makanan yang kami persiapkan terbilang banyak untuk ukuran nyuguhan tamu. Semua itu kami persiapkan dua atau tiga hari sebelum lebaran. Di saat-saat itulah biasanya saudara kami, kapi bibi/emang, kapi alo, dan kapi-kapi lainnya, berdatangan menawarkan diri untuk membantu popolah. Di hari-hari terakhir itulah, kami benar-benar sibuk, meskipun sambil berpuasa, rasa kekeluargaan dan semangat gotong-royong benar-benar terasa. Namun sekarang kami mulai merasa kehilangan rasa dan semangat itu. Mengapa?

Salah satu makanan favorit kami dan seluruh keluarga besar kami adalah leupeut (lontong). Sampai saat ini, hampir tidak pernah ada ketupat lebaran di keluarga kami. Setiap saudara yang berkunjung di hari lebaran, tidak pernah lengkap bila belum mencicipi leupeut tersebut. Makanan tersebut cukup terkenal di lingkungan saudara kami. Mereka menyebutnya Leupeut Amih. Rasanya memang lain, cakial dan tahan cukup lama, tiga sampai empat hari tidak akan basi. Kami masih ingat keistimewaan leupeut Amih tersebut, yaitu: bila dilempar ke atas meja atau lantai akan ngampul saking cakial-nya. Bahkan sampai saat ini, istilah leupeut Amih dipakai untuk menggambarkan seorang balita yang badannya gemuk dan padat, sehingga tangan dan kakinya disebut tampak seperti leupeut Amih.
Cara membuatnya? Inilah yang mungkin beda dengan pembuatan lontong pada umumnya. Terlebih dahulu beras direndam beberapa jam, lalu dicuci kemudian dikukus untuk selanjutnya dikarih. Pada saat dikarih, ditambahkan air garam dan air kapur sirih sambil diaduk-aduk dan ditutu (ditumbuk). Proses pe-nutu-an inilah yang memerlukan tenaga yang cukup besar karena berat sekali dan lengket. Sampai kapan pe-nutu-an ini? Hanya Amihlah yang mengetahuinya. Karihan dibungkus daun pisang dan diseumatan (sebelumnya kami buat seumat dari bambu), kemudian digodog dalam langseng besar selama 8 sampai dengan 10 jam. Penggodogan dilakukan di malam takbiran, dan selesai dini hari.

Masakan favorit ibu kami (Amih) yang lain adalah sambal, tepatnya sambel tarasi, dan dikenal juga dengan sebutan sambel Amih. Punya rasa khas, enak sekali dan tahan lama, semua saudara kami mengenal rasanya. Pembuatannya? Itulah yang menjadi masalah. Bayangkan, dahulu belum ada blender, seluruh cabe merah, bawang merah dan bumbu lainnya, harus diréndos dalam coét besar. Berjam-jam kami rendos seluruh bumbu karena jumlahnya cukup banyak. Proses penggorengan sambal memakan waktu berjam-jam pula sehingga tahan lama. Setelah selesai, jadilah sambel Amih dalam satu waskom ukuran sedang, cukup untuk puluhan orang.
Sarikaya, merupakan masakan istimewa lainnya. Walaupun semua orang sudah mengetahuinya, tetapi sarikaya buatan ibu kami mempunyai cita rasa berbeda. Sebagai pemanis digunakan gula kawung/aren asli. Orang Majalaya dahulu menyebutnya gula enggok, karena pembuat gula kawung yang bagus berasal dari kampung Enggok, sebelah selatan dari Majalaya. Dengan sari rasa cau ambon lumut, disajikan sebagai hidangan cuci mulut.

Parantos kacatur
bahwa masakan yang terkenal dari Majalaya adalah pais lauk (pepes ikan). Salah satunya adalah pais lauk Amih. Sampai saat ini, apabila ada keluarga atau kerabat dekat yang kenduri/hajatan, dan menginginkan dalam menunya ada pepes ikan, pasti memesan kepada ibu kami. Meskipun makanan utamanya ditangani katering, tetapi pepes ikannya tetap minta dibuatkan oleh ibu kami.

Di hari pertama lebaran, biasanya ratusan saudara berkunjung ke rumah kami, datang dalam beberapa rombongan dan berlangsung sepanjang hari dari pagi (selesai shalat Ied), sampai malam hari. Hampir tak ada waktu untuk rinéh, tetapi tetap menyenangkan, apalagi seharian kami berbaju baru. Di hari kedua dan ketiga, rumah kami masih tetap ramai seperti hari pertama. Di hari-hari terakhir, biasanya saudara jauh yang datang dari luar kota.
Bila saudara sudah berkumpul di hari lebaran, suasana dalam rumah akan terdengar récét, tetapi tetap penuh dengan keakraban. Beberapa kelompok terlihat uplek ngawangkong. Obrolan berkisar antara keadaan keluarga, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan anak, diselingi dengan suruput téh haneut, ngopi ulén sambil dicocolkeun kana tumis kumeli atau sambel. Sebagian nguah leupeut ditinyuh ku kari ayam. Di sela obrolan terdengar rauk-rauk suara rangginang diopi.

Yang paling berkesan dalam ingatan kami tentang suasana lebaran saat itu adalah; Pertama, rasa hormat yang melekat kuat dari yang muda kepada yang lebih tua, dan rasa melindungi dan mengayomi dari yang tua kepada yang lebih muda. Kedua, pengakuan terhadap anak kakak atau adik yang dianggap seperti anak sendiri. Seluruh keponakan akan dianggap sebagai anak sendiri. Ada ungkapan yang mengatakan: "Anak lanceuk atawa anak adi, sarua jeung anak sorangan" masih melekat kuat di hati setiap orang. Bila ada orang lain yang menanyakan tentang keponakan kita, akan disebut sebagai anak sendiri. Ketiga, menyebut atau memanggil nama saudara didahului oleh sebutan kekeluargaannya. Memanggil kepada yang lebih tua atau dituakan dengan sebutan Kang Asep, Akang Dedi, Téh Rina, Ceu Rini, Aceuk Tati, adalah sebutan akrab yang sehari-hari kami dengar. Kepada yang lebih muda akan dipanggil dengan Ayi Uman, Kai Emod, Ayi Teti atau Neng Teti. Benar-benar merdu terdengar di telinga kami saat itu. Panggilan seperti Aki Suanta, Mamang Ading, Uwa Andi, Uwa Enok, sudah lumrah terdengar. Yang sudah jarang terdengar saat ini adalah memanggil keponakan dengan sebutan Alo Nendi, Alo Siti, Suan Arif, Suan Salma.

Kenangan lain yang masih membekas dalam ingatan adalah tatkala kedatangan tamu yang telah berumur dan sudah pantas kami panggil kakek, berjalan dengan memakai tongkat karena jalannya sudah tertatih-tatih, menyapa ayah kami (yang saat itu masih berumur empat puluhan) dengan sebutan 'Emang'. Padahal kami tahu tamu tersebut agak jarang berkunjung, dan hanya datang pada saat lebaran saja karena usianya yang sudah uzur. Dalam pikiran kami yang masih kecil waktu itu, sudah sepantasnya ayahlah yang memanggil 'Emang' kepada beliau. Setelah kami tanyakan kepada ayah, rupanya beliau itu adalah kapi alo ayah meskipun sudah jauh. Alangkah indahnya rasa kekeluargaan yang terjalin begitu mendalam.

Demikian kuatnya tali persaudaraan yang kami rasakan waktu itu. Inilah salah satu kiat kami untuk menyusun kembali buku silsilah keluarga ini untuk mengenang atau bahkan mengembalikan lagi ikatan kekeluargaan yang indah dulu, menyambungkan kembali tali silaturakhim yang dulu erat sekali. Dan menggalakan kembali sebutan akang, teteh, euceu, ayi, kai, alo, suan, neng, dan sebagainya yang saat ini sudah mulai memudar dihembus budaya globalisasi yang begitu kuat meradang, mengikis sedikit demi sedikit budaya Sunda bahkan budaya nasional tanpa kita sadari.

Sebuah Potret Tua (Artikel 1)


Keriput menghias wajah senjanya, sorot mata terpancar sayu, sepotong kemeja putih melekat di badan dilapisi bedahan tua menambah kesan uzur. Seluruh rambutnya telah memutih tertutup iket barangbang semplak bermotif batik tradisonal. Itulah gambaran kakek kami yang tergantung di dinding berupa potret tua hitam putih dan telah menguning dimakan jaman. Sewaktu kecil, penulis (kami) sering berkunjung ke rumah uwa, ke rumah paman/emang, atau ke rumah saudara dekat lainnya, foto yang sama tergantung di dinding dengan bingkai berbeda. Kadang kami pandangi potret itu beberapa saat... seringnya sesaat... dan tak pernah berlama-lama. Beberapa kali kami mencoba menatap agak lama, hasilnya tetap sama... tak ada kesan, tak ada kenangan, jangankan kenangan indah, senyumannya tidak pernah kami lihat dan derai tawanyapun belum pernah kami dengar. Selama hidup kami, belum pernah sekejappun merasakan kehadirannya. Beliau telah menghadap Illahi sebelum kami lahir. Hanya nama saja yang kami kenal 'Mama Moehamad Noerhajat', kata ayah dan ibu kami, dahulu terkenal dengan sebutan 'Mama Kalér'. Bukan hanya satu, kedua kakek kami, kakek dari ayah dan dari ibu, keduanya telah wafat sebelum kami hadir ke dunia ini. Dahulu, pernah beberapa kali, ayah dan ibu membawa kami mengunjungi rumah 'Aki'. Peristiwa itu masih terekam dalam ingatan kami meskipun lupa-lupa ingat. Tetapi, setelah kami akil balig, 'Aki' tersebut telah tiada. Beberapa waktu kemudian, kami ketahui 'Aki' tersebut adalah saudara kakek kami yang lazim disebut aki ti gigir atau kapi aki. 'Aki' adalah saudara kakek kami, 'Mama Kalér' yang terakhir kami kenal dari sepuluh saudara bersaudara. Mama Kalér sendiri adalah cikal (putra pertama) dari Moehamad Ahin, buyut kami. Semua itu kami ketahui setelah kami dewasa. Rasa penasaran menyelimuti kami, apakah buyut kami Moehamad Ahin mempunyai saudara? Bila ya, berarti kami masih mempunyai para kapi aki, kapi uwa, kapi emang, kapi bibi, dan kapi-kapi yang lainnya. Siapakah mereka?

05 September 2008

Rundayan Aki Moehamad Adjam (Majalaya)

Wilujeng Sumping di Kulawarga AKI MOEHAMAD ADJAM. 

Wadah kanggo baraya turunan Aki Moehamad Adjam ti Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung.

Baraya urang nu kacatet dugi ka taun 1993, aya 3.339 (tilu rébu tilu ratus tilu puluh salapan) urang.

Buku rundayan (silsilah) Kulawarga Aki/Karuhun urang sarerea parantos medal.

Mugia média ieu téh tiasa langkung ngaraketkeun silaturahim diantawis urang sadaya, anu dugi ka danget ieu parantos aya 9 (salapan) turunan.

Wassalam,


Didin MS & Agus Miryana